Nasibmu dulu dan kini, selalu
saja kau menjadi rebutan hati yang tamak. Menginginkan segala yang ada pada
dirimu, yang indah lagi menawan. Semua sibuk mengeruk isi perut mu. Rakyatmu
pun tergoda, apalagi bangsa lain yang miskin, tak hanya miskin kekayaan alamnya
tapi juga moralnya.
Berjalannya
waktu semakin membuatmu menderita, semua dikelola tanpa rencana, dan kini
akhirnya semua merasakan yang ada, “bencana”. Masa yang lalu, ketika kau masih
hijau menyejukkan, kau digunduli hanya karena kekayaan. Hutan mu digunduli
hanya sekedar untuk tanaman perdagangan, pohon mu diganti tidak hanya dengan
tebu tapi juga dengan kopi dan teh. Semua dilakukan demi mengumpulkan modal
membunuh jiwa-jiwa yang tenang.
Tak
hanya dirimu wahai bangsa ku, rakyat yang sejatinya hanya ingin hidup sejahtera,
mereka dibantai, mereka dipaksa, mereka diusir, sehinga tak tersisa ketenangan
dalam hati. Leher mereka dijerat oleh kerasnya pajak, rakyat yang menanam tapi
mereka yang menikmati, mereka siapa? Mereka itu orang-orang yang mencari
kesenangan dunia atas nama kolonialisme.
Waktu
terus berjalan, mereka menikmati seluruh penderitaan. Sampailah kita pada
perjuangan, yang memberikan beribu harapan. Penjajah asli pergi namun berganti
penjajah dari saudara sendiri. Penjajah dari kalangan sendiri ini tak kalah
kejamnya, mereka menyedot harta mu wahai bangsa ku bukan untuk kepentingan
bangsa lain, tapi untuk kepentingan perut mereka dan keluarganya, rakyat yang
dipimpin dibiarkan lapar tanpa apa-apa dalam rongga perutnya.
Kini
bangsaku kau masing menanggung dosa lama, dosa yang diteruskan oleh rakyat mu
sendiri. Mereka tak mau belajar dari pengalaman, tapi mereka mengulang dosa
lama. Semoga kau diberikan kesabaran wahai bangsanku, kau harus bisa bertahan,
bertahan memberikan yang terbaik bagi kami rakyatmu, jangan kau dendam kepada
kami, tetaplah menjadi perantara rejeki dari Yang Maha Kuasa kepada kami.
0 comments:
Post a Comment