Tiga minggu telah berlalu, dan dermaga itu pun masih sangat ingat akan peristiwa yang telah kita lalui. Semua masih tergambar jelas dalam benak ini. Kau menangis saat itu, dengan kerudung merah yang kau kenakan.
Pertemuan
kita memang terasa tak biasa. Semua berawal dari senyuman. Kau membalas
senyuman itu, sambil kau berlari jauh dan tak kembali. Setiap perjumpaan ingin
sekali bibir ini menyapa. Namun aku hanyalah pria yang tak piawai di depan
wanita.
Entah prangsangka apa yang ada dalam hati mu? Tapi setidaknya kau perlu tau apa yang
ada di hati Ku.
Sungguh
semua terasa tak biasa. Entah mengapa? Aku sendiri pun tidak tau. Siang
berganti malam, malam pun berganti dengan datangnya siang. Seakan mereka tak
perduli, mereka terus berlaju dengan pasti. Mereka tak memahami perasaan ini,
sampai akhirnya datang sebuah perpisahan.
Ketika
kau menyapa terkadang aku yang kurang peka, dan ketika aku yang menyapa
ternyata kau juga tak sepeka apa yang kukira. Semua seperti permainan,
permainan yang hasil akhirnya tidak terduga.
Kau
memang tampak tak begitu cantik, namun kau sangat manis. Kulitmu yang sedikit
gelap, alismu yang tebal, dan matamu yang indah sekarang sudah menjadi
kenangan. Benar, kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan.
Hanya
dua kali aku menjumpaimu memakai kerudung. Sungguh kau terlihat cantik
dengannya. Aku tidak bohong. Kau terlihat lebih dewasa. Sungguh kakak tidak
bohong. Pertama kau pakai dengan yang berwarna biru, yang kedua kau pakai
dengan yang berwarna merah. Yang berwarna merah itu bertepatan sekali dengan waktu
kepulangan ku.
Aku masih sangat ingat, ketika aku pulang, sehabis mandi di belakang SMP 4 Fafanlap. Kau berdiri, aku tersenyum dan kau pun membalas senyuman itu. Sungguh terlihat meneduhkan karena kau memakai kerudung merah itu.
Ketika
hari semakin panas. Matahari naik tak memperdulikan yang lain. Kau pun datang.
Tampak masih sangat indah karena kerudung merah itu masih melekat padamu. Entah
mengapa saat itu kau berjalan mendekati ku. Ku sambut kau dengan senyuman. Seraya
bibir berkata, “ kesinilah Kau!” Kau pun menghampiri ku, seraya berkata, “ada
apa?” Aku pun berkata,”besok kalu kau pergi sekolah pakailah kerudung itu
terus! kau nampak cantik dengannya.”
Mendengar
perkataan itu, entah mengapa kau jadi menangis. Padahal sebelum itu kau sama
sekali tidak menangis. Salahkah perkataan ini? atau kau tak terbiasa
mendengarnya? Aku hanya berharap kau menjadi wanita yang sholihah. Aku tau
bahwa kau adalah wanita yang baik. Sudah sekian lama aku mengamatimu, ketika
yang lain berjoget kau tak ikut joget. Walaupun pada akhirnya kau ikut joget
karena dipaksa oleh kawan mu.
Suatu
malam ketika yang lain berjoget, aku pun mengamati mu untuk kesekian kalinya.
Sungguh aku tidak suka melihat kau berjoget, saling berhadapan dengan semua
pria yang tentu saja menurunkan nilai kemulianmu sebagai wanita. Tetapi kau
terus saja menari, seakan kau bangga bahwa itu benar.
Dan
kini kita telah berpisah, hanya bisa mengenang semua yang telah terjadi. Biarkan
dermaga menjadi saksi akan pertemuan kita, saksi ketika perpisahan terjadi, dan
aku hanya bisa memandang mu dari atas kapal fajar Indah II. Selamat berpisah wahai
gadis manis dengan kerudung merah, semoga kelak kita bisa bertemu kembali.
Sungguh aku sangat merindukan mu.
Teruntuk Adikku di Fafanlap
Rachmad Hidayat, pria yang
terpele.
0 comments:
Post a Comment