"Malam yang indah, tapi sayang...." |
Acara
Jogja street dance adalah suatu pagelaran
berbagai jenis tarian yang berasal dari beberapa negara. Tarian pada malam itu
mempertunjukan tarian tradisional. Kebetulan pada malam itu hanya
mempertunjukan tarian dari negara Indonesia dan Australia. Acara ini memang
acara rangkain yang digelar selama tiga hari berturut-turut.
Riuh
suara penonton pun semakin ramai ketika penari pertama masih ke panggung.
Tarian yang pertama ini berasal dari daerah bekasi, entah namanya apa saya
lupa, karena dirasa kurang penting untuk diingat. Tarian yang di sajikan oleh
beberapa wanita dan beberapa laki-laki, tampak dengan lincahnya
berlenggak-lenggok kesana kemari. Mereka menampilkan kepiawaiyannya dalam
mengolah seni gerak tubuh. Semakin menarik tarian tersebut karena disertai
tubuh molek yang tak terbalut pakaian seutuhnya.
Tarian
selanjutnya ditampilkan oleh seorang wanita kebangsaan Jepang. Apa nama
tariannya dan menggambarkan makna apa tarian itu? Sama sekali aku tak ingin
tau. Saat tarian jepang ini berlangsung, riuhnya suara penonton tak lagi
seramai saat tarian pertama. Mungkin ini disebabkan musik pada tarian jepang
ini juga tak seheboh tarian yang berasal dari Bekasi. Semua tampak lebih
tenang, tarian pun hanya sekedar gerakan tak jelas. Bergerak kesana kemari
mengelilingi panggung yang ukurannya tak seluas lapangan bulutangkis. Entah
mengapa saat menonton tarian ini, rasa gelisah tak seperti yang pertama,
mungkin karena tubuh penari yang lebih terbalut pakaian. Walaupun muka masih
terbuka. Ya wajarlah, penari itu orang Jepang yang entah apa agamnya, aku pun
tak tau.
Tarian
kedua dan ketiga dilakukan oleh orang yang sama. Seorang perempuan, berparas
India namun dia berasal dari Australia. Perempuan tersebut menampilkan tarian
bernuasa India. Tarian yang mengkombinasikan antara permain mata, keluwesan
tangan, dan hentakan kaki. Aku memang bukan seorang pengamatan tarian, jadi
wajar selama berjalannya acara tersebut, sedikit pun aku tak paham akan
maknanya. Hanya menonton saja, bahkan saya lebih tertarik mengamati polah
penonton yang sungguh menggambarkan keadaan remaja Indonesia saat ini.
Datanglah
waktunya pementasan tarian yang terakhir. Tarian yang kembali ditampilkan oleh
orang indonesia, dengan pakaian yang lebih terbuka, yang hanya tertutupi mulai
dari atas dada sampai di atas mata kaki. Baju yang dikenakan juga tak kalah
ketat dibandingkan balutan selendang pada bayi, yang berusaha agar tubuhnya tak
bengkok karena pertumbuhan yang tak teratur. Motifnya memang pakaian
tradisional, namun tetap saja di mata ini penilaian tidak akan berubah.
Selama
berjalannya acara, badan ingin sekali pergi. Meninggalkan tempat itu dan
mencari tempat yang dapat menenangkan tubuh. Kala itu perasaan sungguh gelisah,
entah mengapa aku bisa sampai tempat ini? Tempat yang menampilkan kemolekan
wanita, dan semua menonton entah dengan pandangan apa? Pada malam itu pikiran
ku terus melayang, memikirkan sesuatu yang sepertinya juga bukan urusanku.
Mengapa banyak wanita dengan mudahnya membuka aurat mereka. Aku memang bukan
pria yang sempurna, masih banyak kesalahan dalam diri ini. Namun aku selalu
berdoa kepada Allah, semoga aku diberikan jodoh yang sholihah. Setia menjaga
setiap lekuk tubuhnya hanya untuk suami tercinta. Tak mengobralnya kesana
kemari, mencari pandangan lelaki lain.
Apa
memang sudah begini keadaan dunia? Sepertinya memang begitu. Ketika wanita tak
lagi menjaga kemuliaanya. Wanita bersuami dan wanita berpacaran sekarang sudah
kabur dan sangat sulit dibedakan. Mereka dengan bangganya memamerkan kemesraan
yang belum syah ikatannya. Berbonceng kesana kemari, merangkul dengan eratnya.
Ah buat iri saja. Kami memang lelaki jomblo, yang setia menjaga kehormatan sampai
akhirnya menemukan cinta pertama sekaligus cinta terakhir. Kami lelaki yang
akan menguatkan mental untuk menemui orang tua sang bidadari. Bidadari yang
akan menjadi tambatan hati. In sya Allah kebahagian buat kamu penjaga
kehormatan dari dunia sampai akhirat.
0 comments:
Post a Comment