"Generasi Fafanlap, mutiara yang tersimpan" |
Badan
yang lelah, tak membuat alam berhenti bergerak. Semua bergerak secara teratur.
Memenuhi setiap sendi-sendi kehidupan. Begitu juga kehidupan masyarakat
Fafanlap, berjalan sebagaimana mestinya. Anak-anak bermain dengan riangnya,
seakan-akan mereka belum tahu akan kerasnya dunia ini. Para orang tua pun masih
sibuk dengan segala aktivitas kesehariannya, salah satunya adalah mencari nafkah untuk keluarga tercinta.
Matahari yang tadinya gagah menghadang, menatap kita
dengan panasnya yang terang, sekarang sudah berganti kawannya sang rembulan
yang lebih sejuk, indah dipandang, dan mampu menemani malam kita dengan sebuah
kenangan. Tepatnya rembulan terang di bulan Ramadhan. Bulan pembelajaran, pengampunan,
dan kemenangan bagi umat Islam. Alhamdulillah di Kampung Fafanlap tempat kami
mengabdi, tim KKN PPM UGM unit PPB 01, merupakan kampung dengan penduduk 100%
Islam. Hal ini membuat bulan ramadhan kami akan semakin berbeda dan terkenang.
Tepatnya 12 Juli 2014, sore hari, sesaat setelah kami
datang di Kampung Fafanlap ini. Sekaligus hari pertama kami di tanah Misool. Suasana
senja terasa sungguh berbeda. Bunyi riuh ombak, jeritan anak-anak yang bermain
di sekitar dermaga, dan suara hembusan angin pesisir merupakan suatu hal yang
jarang sekali kami rasakan ketika berada di Jogja. Mereka semua menyambut dan
membelai kami dengan suguhan yang menentramkan jiwa. Pejalanan yang kami tempuh
memang bukan perjalanan yang singkat, butuh waktu tiga hari dua malam sebelum
akhirnya kita sampai di sini. Semua suguhan itu semakin terasa nikmat bagi kami
tim KKN PBB 01 untuk sedikit merebahkan badan, setelah tadi siang kami disibukkan
dengan agenda bersih-bersih pondokan, tempat kami bernaung dan menyandarkan
segala perasaan kurang lebih 50 hari di Kampung Fafanlap ini.
Tak terasa suara tifa sudah bertalu-talu, pertanda telah
datangnya waktu shalat Isa, segenap anggota KKN mempersiapkan diri untuk melaksanakan
shalat Isa bersama warga sekitar. Pertanda shalat di Kampung Fafanlap ini memang
sedikit berbeda dengan pertanda sholat di Jogja sana. Di sini hanya
mengandalkan tifa untuk mengingatkan jamaah ketika waktu shalat telah datang, sedangkan
untuk pengeras suara jarang sekali dipakai. Kami pun harus jeli dan memasang
telinga lebar-lebar untuk mendengar setiap tabuhan, apabila tidak mau
tertinggal shalat berjamaah dengan warga. Shalat isa pun berlangsung dengan
khusuk dan diakhiri dengan dzikir bersama.
Seselesainya shalat Isa dan dzikir bersama, kami pun
melaksanakan shalat tarawih. Tarawih dengan rakaat yang lebih banyak, namun
pelaksanaannya yang sedikit lebih cepat. Sungguh sangat berbeda dari segi
kecepatannya dibandingkan dengan di Jogja sana. Ya lebih cepat, bahkan sampai
membuat keringat sedikit bercucuran. Bahkan beberapa dari kami anggota tim KKN,
satu demi satu berguguran setiap harinya. Ada yang hanya sholat delapan rakaat lalu
pulang dan ada juga yang hanya shalat di pondokan saja. Walaupun terkadang ada
rasa malu, malu karena kalah dengan Pak Imam yang tentu saja usianya sudah jauh
lebih tua dari kami, namun beliau masih kuat untuk tarawih dengan kecepatan
yang sungguh tak biasa.
Rakaat demi rakaat tarawih kami laksanakan, sampai
akhirnya shalat tarawih pun selesai. Sepintas terasa sebuah kehangatan di
sela-sela kegiatan dzikir bersama. Kehangatan yang tercipta bukan hanya karena
cepatnya gerakan tarawih yang menyebabkan tubuh ini sedikit berkeringat, namun
kehangatan kebersamaan di tengah perbedaan yang kemudian perbedaan itu
disatukan dengan keimanan. Kehangatan keimanan warga Fafanlap pada bulan
Ramadhan yang penuh dengan pesan.
Tarawih
pada malam itu diakhiri dengan kultum dari Pak Imam. Sosok imam kampung.
Berwajah teduh, bijak, dan menunjukkan tauladan. Kearifan daerah setempat
terpancar dari wajahnya. Seorang imam yang sangat dihormati dan disegani,
setiap kebijakan kampung tak hanyal harus meminta persetujuan dari beliau. Bahkan
kunjungan wisata yang ingin mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat
juga harus atas ijinya.
Dibukalah kultum dengan ucapan syukur kepada yang Maha
Kuasa dan dilanjutkan dengan shalawat kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad
SAW. Seketika itu, Pak Imam menyampaikan beberapa nasihat yang kurang lebih
inti nasihatnya adalah, “Jagalah anak-anak kita, didik, dan jangan biarkan mereka
jauh dari nilai-nilai agama.” Terdengar sederhana, namun tidak begitu dengan
maknannya. Pesan ini lebih mengena mengingat Fafanlap merupakan kampung pesisir
yang jauh dari pusat perkotaan dan merupakan cikal bakal perkampungan di
sekitarnya.
Letak
Kampung Fafanlap yang jauh dari hingar bingar perkotaan menyebabkan mayoritas pemudanya
sering pergi jauh untuk merantau. Mereka pergi merantau dengan banyak alasan,
baik untuk pergi menuntut ilmu, mencari pengalaman, maupun mencari sedikit
penghasilan. Kondisi ini didukung dengan minimnya sumber mata pencahariaan yang
ada di sana. Kegiatan merantau inilah yang menyebabkan mereka jauh dari kampung
halaman dan pengawasan orang tua.
Apabila melihat fenomena saat ini, dimana banyak pemuda
daerah yang tergoda glamornya kehidupan kota. Bukan perbaikan yang mereka bawa,
tapi beban sosial baru. Mereka membawa budaya negatif kota yang merusak dan
selanjutnya mereka tanamkan nilai-nilai itu di desa kelahirannya. Maka tepatlah
apabila Pak Imam menyampaikan pesan ini kepada jamaah yang hadir pada saat itu,
tidak lain agar kampung Fafanlap ini selalu terpelihara akan nilai-nilai
keislaman dan dijauhkan dari budaya-budaya yang merusak. Sungguh sayang apabila
indahnya Kampung Fafanlap tertutupi oleh noda hitam yang itu dibuat oleh
generasinya sendiri.
Kita bisa lihat Imam-imam besar dalam perjalanan sejarah
Islam. Mereka pergi jauh merantau ke seluruh belahan bumi. Tetapi ketika mereka
kembali, yang mereka bawa adalah ilmu. Godaan dunia tak kuasa merasuk dalam
hati mereka. Karena prinsip agama ini, cukup dunia ada di genggaman tangan dan
yang berada di hati hanyalah keimanan. Sekali lagi rahasianya adalah keimanan
dan bekal ilmu agama yang mereka persiapkan sebelum pergi merantau.
Pelajaran kini ku dapat, sungguh meningkatkan keimanan
dan memperdalam ilmu agama sangatlah penting bagi kita seorang pemuda. Jangan
sampai godaan hidup yang kita jumpai dapat merusak kepribadian kita. Persiapkan
semua sejak dini dan terus belajar, terutama bekal agama. Keimanan kita harus
semakin kuat terhadap berbagai godaan dunia. Sehingga ketika kita kembali ke
kampung halaman, perbaikanlah yang kita persembahkan.
Nasihat ini pun tak pelak bagi generasi-generasi tua agar
dapat mempersiapkan generasi muda yang tangguh. Tangguh dengan keimanan dan
keilmuan agama. Jangan sampai hanya kerena egoisme golongan tua, anak-anak menjadi
korban akan ketidakperdulian mereka. Kewajiban orang tua tidak hanya sekedar
pangan, sandang, dan papan tetapi juga bekal kepahaman akan agama Islam ini.
Terima
kasih Fafanlap, kau telah menjadi episode-episode indah dalam lembaran kehidupan
kami. Salam dari kami mahasiswa KKN PPM UGM, semoga kelak kita bisa
dipertemukan kembali dalam kesan yang lebih baik dan semakin indah untuk
dikenang. Kami selalu mendoakan kebaikan untuk kita semua. Semoga kita termasuk
hambanya yang istiqomah di mana pun berada.
0 comments:
Post a Comment