Monday, November 9, 2015

Duduk Sendiri

Lembap terasa udara sore ini
Menguap dan merasuk hingga relung hati
Teringat kembali masa dikala matahari sedikit tertutupi
Di sana kami menari dalam bayang-bayang sejuknya mentari

Kini ku terduduk sendiri
Melihat krumunan lebah terbang hilir mudik
Entah apa yang dia cari
Tapi setiap hinggapnya selalu membawa berarti

Kembali ingin ku pergi
Pergi dan untuk kembali
Karena ku tahu, jangan terlalu lama…
Agar rindu berbunga dan mengendap, erat…

Pasti nanti ku pergi
Namun kini biarkan ku duduk sendiri
Ku ingin berbenah dulu,  ada yang perlu ku perbaiki
Biar nanti tak lekang, kan ku ukir perlahan dan dengan segenap perasaan….


Friday, September 4, 2015

Lagu Alam

Pagi ini, Sabtu 05 September 2015, tepatnya pukul 7:07 pagi. Aku coba baringkan tubuh. Merenggangkan sedikit otot yang menegang, sehabis lari pagi di sekitar kampus tercinta. Bolehlah ku sebut kampus tercinta, walaupun status sekarang belum lagi menjadi mahasiswa di sana.

Dalam perbaringan di kamar 3 x 3 meter ini, terdengar sebuah lagu, haniif yang memutarnya, sahabat sekamar. Lagu yang bisa dibilang lagu klasik, lagu yang mungkin menjadi konsumsi para generasi tua, lagu Ebiet G. Ade tepatnya. Lagu yang enak didengar, terutama bagi yang ingin mengenang masa indah yang telah berlalu, mengenang perjuangan hidup maupun mengenang percintaan. Maklum, walaupun saya termasuk generasi muda, tapi saya masih sering mendengar lagu klasik ini, baik di kos maupun di kampus ketika tak ada kerjaan. Tak jarang juga saya mendengar lagu Koes Plus maupun lagu-lagu Chrisye, lumayan untuk mengobati kenangan masa lalu, yah… yang mungkin masih sebentar berlalu tersebut.

Terus ku menghayati, membawa lamunan ku untuk mengingat lagi masa-masa KKN ketika di Raja Ampat. Suasana pesisir, desiran laut, dan ramahnya kampung menurut ku sangat cocok dengan lagu Ebiet G. Ade ini. Lagu alam yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh yang punya kenangan manis, pengalaman yang tentunya sulit sekali dilupakan.

Ku teruskan lamunan, tak ingin berakhir di satu sisi lamunan, dia terus mencari sensasinya. Akhirnya lamunan itu berakhir pada masa-masa kecil ku. Masa kecil yang banyak dihabiskan dengan bermain. Sehabis sekolah langsung ku singsingkan baju, ku ganti dengan baju sederharna, mungkin sedikit sobek, tapi yang pasti itu aman dan tak membuatku was-was ketika ku gunakan berlari-lari dengan teman-teman, ketika ku gunakan untuk terjun ke kubangan air, ketika ku gunakan berlari-lari di sawah yang penuh dengar lumpur. Oooh… betapa senangnya masa itu, masa ketika alam tak menjadi batasan bagi seorang bocah dengan jiwa yang bebas. Semua lepas, terbang, mungkin sampai kayangan.

Ku bayangkan saat itu, aneka permainan yang menjadi barang mahal anak-anak jaman sekarang. Bola kasti, lompat karet, kelereng, kejar benteng, tapak gunung, tok dal, dan mengejar layangan memenuhi kembali pikiran ku saat ini. Masa yang tak mungkin lagi terulang. Masa ketika permainan tak hanya menggerakan jari pada joy stick, masa ketika tangan tak hanya memegang benda berbentuk segi empat sampai sibuk sendiri. Masa itu adalah masa ketika yang dilatih tak hanya fisik, tapi juga pikiran, strategi, kerjasama, dan rasa tenggang rasa terhadap sesama. Permainan yang penuh makna.

Masa itu adalah masa, ketika setiap suasana layaknya lagu alam, yang siap diputar kembali dalam lamunan. Lagu alam yang akan menimbulkan rasa rindu untuk terus dikenang. Latarnya adalah sawah, gunung, dan pelataran. Penari latarnya adalah teman kita yang berlari sana sini ntuk mencari indahnya tantangan. Betul-betul lagu alam, yang hanya bisa bernostalgia dalam lamunan. Semoga anak-anak jaman sekarang bisa menikmatinya kembali, dimana mereka bisa membuat lagu alamnya sendiri, mereka bisa membuat latar panggungnya sendiri, mereka bisa menentukan penari latarnya sendiri. Sehingga mereka bisa tersenyum-tersenyum sendiri dalam lamunan, seperti aku saat ini.

Wednesday, September 2, 2015

Peraduan Ku

Banyak rasa tercipta disana
Baik sedih maupun suka
Namun kini hanya bisa tertawa
Ternyata semua indah pada akhirnya

Terkadang tersenyum sendiri
Memandang langit yang berselimut sepi
Ternyata aku tak sendiri
Ada mereka yang menemani

Terkadang menangis sendiri
Merasa hidup yang penuh narasi
Sampai tak kuat menghadapi
Namun mereka tegar dan menopangku dari sisi

Jauh aku mungkin telah berjalan
Atau mungkin hanya perasaan
Dan ternyata aku masih di pelataran
Malambaikan tangan, dan berpura-pura air mata berguguran

Oh ternyata tidak, aku baru setengah jalan
Tengah jalan yang banyak rayuan
Tengah jalan yang terkadang memeras perasaan
Tengah jalan yang mencegah ntuk kembali ke peraduan

Sepertinya memang harus terus maju
Maju sambil memikirkan yang dibelakang
Tak perduli hati beradu
Karena yang ku pikirkan adalah masa depan

Bukan aku tak peduli
Apalagi mencoba untuk lari
Aku hanyalah pria yang mencoba terus berdiri
Walau dalam langkah terbanyang adanya perih

Lebih baik aku beristirahat dulu
Memikirkan yang di belakang ataupun yang di hadapanku
Merenungi semua jalan ceritaku
Agar semua indah dan layak dikenang selalu 

Tuesday, August 18, 2015

Bayangan

Bisakah Kau dengar suaranya Kawan…
Riuh bunyi ombak melambai, memanggilmu, mengajakmu mendengar indahnya lagu alam
Bisakah Kau dengar suaranya Kawan…
Gesekan batang dan daun yang saling beradu, meminta tuk dihampiri
Bisakah Kau dengan suaranya kawan…
Kumpulan burung bersiul, seakan tak ada nada sumbang dalam setiap tangga nada
Bisakah kau dengar suaranya Kawan…
Sentak langkah kaki berlari, larinya anak bersenda gurau dengan alam


Terlalu banyak gambaran, terlalu banyak nada, terlalu banyak semangat yang terbawa
Sentuhan alam yang sungguh melenakan
Ingin dipeluk, dicium, diraba setiap lekuk indah rupanya
Oooh… kapan aku bisa?

Negeri ku ini memang pantas dicintai
Bahkan bagi mereka yang tak mau mati disini
Namun rasa nikmat menuntutnya tuk menyinggahkan diri
Oooh… Kapan kau pergi?

Beginikan ketika hidup diserang rindu
Tak penting dengan kapan pertemuan beradu
Hanya ingin Satu
Bertemu…!!! Dan kita menyatu…

Kawan…
Sudahkan kau terbayang? akan dunia yang mirip kayangan
Kawan…
Sudahkan Kau terbayang? nampaknya belum
Kawan…
Itu negeriku, rumahku, yang kesannya melebihi berjuta bayangan

Sunday, April 26, 2015

Tanda-tanda

Ku tulis rasa hati yang terus menggerutu
Kelam tertutupi dosa masa lalu
Tak mengerti dan tak dijalani
Padahal petunjuk telah datang silih berganti

Mungkin sudah kesekian kali
Wajah terjungkal mengenai kotoran duniawi
Rasa lapang sedemikian pergi dan sulit dibujuk walau sekedar ntuk kembali
Dan akhirnya ku harus meniti, menghapus dosa, dan memulai dari titik awal lagi

Mungkin janji sudah terucap untuk kesekian kali
Namun tubuh yang lain tak kuasa, dan akhirnya memutuskan ntuk mengingkari
Akhirnya kekecewaan dan penyesalan pun menghampiri
Badan lunglai, hanya bisa terpaku, sambil menyalahi diri sendiri

Lalu hati bertanya-tanya….
Kamu ini maunya apa?
Terang dan gelap sudah jelas apa adanya
Kini hanya ada curiga dan semakin tak percaya

Ya Allah, kasih cinta-Mu bertebaran dimana-mana
Petunjuk Mu juga tak segan untuk menyapa
Maafkan hamba Mu ini yang kesekian kali berbuat nista
Semua salah hamba Mu ini, salah karena hati menghitam sehingga tak mampu membaca tanda-tanda

Thursday, April 23, 2015

Damin

10 Juli 2014, kami 19 orang anak Jawa yang miskin akan pengalaman mencoba peruntungan. Perjuangan selama enam bulan untuk mempersiapkan keberangkatan ke timur sana terbayar sudah. Raungan mesin pesawat di Bandara Juanda menjadi saksi keberangkatan kami, keberangkatan yang hampir saja sirna karena minimnya dana. Namun Tuhan berkendak lain, kelompok yang hampir bubar ini diberi kepercayaan untuk menapakan kaki di Papua sana, Kampung Fafanlap, Distrik Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat tepatnya.
            
Raungan mesin pesawat yang tadinya memekakkan telinga kini berganti dengan lembutnya suara mesin kapal Fajar Indah II. Namun kelembutan itu tak mampu bertahan lama, sampai datangnya gelombang lautan. Delapan jam sudah perut kami dikocok, isi perut kami tumpah karena tak mampu menahan pening di kepala. Sampai akhirnya pagi hari pun tiba. Kalau kata R. A. Kartini, habis gelap terbitlah terang. Namun bagi kami, habis gelap terbitlah mentari berhias pulau-pulau. Sekumpulan badan yang lemas terbangun, keluar dari kapal, dan menikmati pemandangan yang masih asing bagi pandangan, belum pernah kami melihatnya kecuali di layar laptop kami.
            
Bicara soal pemandangan tiada akan habisnya, semua pasti mengagumkan. Obrolan dengan sesama penumpang di kapal pun hanya bisa mempersingkat waktu, semua terasa singkat. Sampai akhirnya nampak oleh bola mata kami sebuah dermaga. Dermaga Kampung Fafanlap. Dermaga satu-satunya yang disinggahi kapal besar dari Pelabuhan Sorong. Oleh karena itu, pelabuhan ini menjadi pintu akses utama mobilitas penduduk yang berlayar dari Kota Sorong. Membawa segala kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Dermaga Kampung Fafanlap saat itu ramai sekali, tidak hanya diramaikan oleh orang yang baru datang, namun juga oleh pedagang dan tentunya oleh anak-anak usia sekolah yang hilir mudik untuk mencari hal baru yang datang dari pulau nan jauh disana.
            
Semua prosesi penerimaan dan penyambutan telang dilakukan, kami akhirnya mendapat tempat bernaung di dekat dermaga, rumah yang sederhana, namun mewah bila dibandingkan dengan rumah-rumah warga lainnya. Prosesi melepas lelah pun kami lakukan, bertegur sapa dengan warga sekitar dan bertawa ria dengan anak-anak menjadi obat lelah kami. Bangku tersusun melingkar, anak-anak duduk berkeliling dan kami siap mendengar cerita dari mereka semua. Belum lama memang, namun keakraban kami dengan anak-anak itu cepat sekali terbentuk. Mungkin anak-anak disini memang sudah terlatih seperti itu, menyambut setiap orang yang datang, termasuk kami orang baru.
            
Ketika kami sibuk bercerita tidak jarang kami dikagetkan oleh tangisan seorang anak, ada apa? Ternyata seperti biasa, polah anak-anak di Jawa ternyata juga ada disini. Mereka mudah rukun namun juga mudah sekali berkelahi. Salah satu anak yang paling terlihat aktif, sekaligus aktif dalam hal kenalanannya adalah Damin. Hanya berselang beberapa detik dia sudah membuat ulah kembali. Biasanya anak perempuan menjadi sasaran empuk baginya. Kejadian ini tak hanya sekali, namun sering sekali terjadi. Aku saat itu belum tau Damin ini kelas berapa, yang aku tau saat itu, Damin merupakan anak yang telah ditinggal ayahnya dan memiliki adik yang bernama Abdul.


Interaksi antara kami dan Damin berlangsung sangat sering. Pondokan kami yang dekat dengan dermaga dan berhalaman lapangan sering digunakan anak-anak berkumpul baik sore maupun malam hari. Walau gelap, mereka tak ragu untuk berlari kesana kemari, saling meraih dan mengumbar tawa. Pada malam yang berbeda, saya kembali bertemu dengan Damin. Tanpa ragu dia langsung masuk ke ruangan kami, ruangan yang menjadi tempat tidur sekaligus gudang bagi barang-barang kami. Dia menghampiri sebuah kardus, diraihnya sebuah permain puzzle, dibuka bungkus plastiknya kemudian dia acak-acak bagian kecil puzzle tersebut. Dia berusaha menyusun dan mengembalikan pada keadaan semula, namun nampaknya dia tidak berhasil. Bukannya dirapihkan, dia malah membuka puzzle yang lainnya, ya… walaupun hasil akhirnya tak jauh berbeda dengan puzzle sebelumnya. Kami hanya memasang setting wajah cemberut, namun hati kami tersenyum.

Ketika program guru bantu sudah dimulai, akhirnya aku tau bahwa Damin itu kelas dua Sekolah Dasar. Dia ternyata pernah tidak naik kelas beberapa kali, hati pun bertanya kenapa? Apakah ada hubungannya dengan kenakalannya atau ada sebab lain? Aku ketika itu belum begitu memperhatikan. Sewaktu tak ada jadwal mengajar biasanya aku duduk di teras depan pondokan, menikmati sesaat kesejukan udara yang mungkin tak lama bisa aku nikmati. Bertepatan dengan moment itu biasanya Damin datang, seorang diri, membawa buku satu buah beserta alat tulisnya, dan biasanya tanpa tas. Aku pun bertanya, “apakah sudah selesai belajar disekolahnya?”. Dia pun menjawab, “sudah….” Seperti biasa dia pun langsung masuk dan membaca buku-buku yang kami bawa dari Jawa.

Damin mempunyai adik yang bernama Abdul. Abdul juga sering berkelahi layaknya kakanya, Damin. Sempat beberapa kali aku perhatikan ada yang berbeda dengan Abdul ini. Dia sering sekali memakai baju orang dewasa, baju yang merangkap sekaligus sebagai celana. Aku tanya, “ini baju siapa?”. Dia jawab, “baju saya Kak….” Terkadang juga aku lihat dia tidak memakai baju, hanya celana saja. Kalau tidak salah saya juga pernah bertanya kepada adik Damin ini, “kok gak pakai baju?”, dia hanya menjawab dengan polos seperti anak kecil lainnya, “bajunya dipakai adik saya kak…” Damin memiliki adik lainnya yang juga sering memakai baju kebesaran. Jangan berfikir baju kebesaran yang mahal dan bagus layaknya yang kita miliki, baju yang sering dipakainya adalah baju kampanye yang banyak beredar ketika masa pemilu tiba. Bahannya tipis, lengkap dengan foto caleg dan nomor yang siap untuk dicoblos.


Tak terasa masa pengabdian pun berakhir, sekitar 55 hari lamanya. Kami pun pulang, kembali ke tanah Jawa. Meninggalkan kampung yang penuh kenangan itu. Termasuk kenangan bersama Damin, seorang bocah istimewa yang saat itu jatuh di pelukku, menangis dan seolah berkata, “ Kak… jangan pulang....”.

Sesampainya di Jawa, ternyata hampir semua anggota kelompok KKN kami merasa terpele. Terpele merupakan sebuah istilah yang menerangkan akan rasa terkenang bagi seseorang yang mengalami perpisahan. Bahkan lagunya sampai saat ini masih sering kami lantunkan, judulnya “Gunung dan Tanjung Terpele”.  Ya…, Kami masih rindu dengan Kampung Fafanlap, disetiap pertemuan pasti yang sering dibicarakan adalah seputar agenda KKN yang dulu pernah kita lakukan.

Rasa rindu yang semakin membuncah, akhirnya memberikan motivasi yang kuat bagi salah satu teman kami, Minuk Kusmiati. Dia membulatkan tekad untuk kembali ke Kampung Fafanlap, mengerjakan penelitiannya tentang infeksi cacing pada anak-anak. Tema penelitian tersebut menuntutnya untuk sering berinteraksi dengan anak-anak disana, sehingga Minuk tau pasti akan kondisi mereka pasca program KKN yang kita lakukan di Kampung Fafanlap tersebut.

Setelah tiga minggu Minuk berada di Kampung Fafanlap. Akhirnya dia pulang, dan segenap sahabat KKN yang lain pun menjemputnya. Seperti biasa, rasa rindu kami yang amat besar menyebabkan kami selalu menanyakan bagaimana kabar masyarakat disana, bibik ini, paman itu, bagaimana kabarnya? Dan pada akhirnya kita mendapat kabar yang cukup menyedihkan, Damin yang terkenal nakal namun sering membantu itu, ternyata sudah berhenti sekolah. Hal tersebut dikarenakan tiadanya seragam. Seragam yang dulu saya lihat menghias tubuh sekalnya, kini dipinjamkan kepada adiknya sedangkan dia sendiri berkorban dan akhirnya tidak berangkat ke sekolah.

Apakah ini ada sangkut pautnya dengan kondisi kedua adiknya yang dulu sering ku lihat memakai baju yang kebesaran? Kenapa aku tidak peka? Bahwa saat itu mereka sangat membutuhkan bantuan, dan akhirnya kini terjawab, hanya karena ketiadaan seragam sekolah, masa depan seorang anak hampir saja terampas. Terampas apabila orang-orang di sekelilingnya tidak perduli.

Monday, March 16, 2015

Setiap tikungan

Setiap tikungan selalu ada kejutan
Kejutan perasaan dan hasil sebuah perjuangan
Dia datang tanpa perlu kau undang
Hadirnya mendadak dan akan menghujam begitu dalam

Yang kau perlukan adalah sebuah keyakinan
Bahwa dia datang dan pergi pasti karena ketentuan
Terkadang kau harus menanti bersama dengan sebuah kejemuan
Namun nanti kau kan tau hakikat sebuah kerinduan

Bisa bersabarkah dengan penantian?
Bisa bertahankah dengan godaan?
Padahal dia selalu menggoda dan meminta untuk diperjuangkan
Berbinar, berkilau, menarik kaki yang sulit dirayu walau sekedar untuk berjalan

Sepertinya memang aku harus bersabar
Meremas hati agar ego dan nafsu tidak terus berkibar
Menelusuri rasa yang kata hati bisa jadi benar
Menata jiwa sampai datangnya sebuah kabar

Sunday, January 4, 2015

Asa Di Relung Hati


Nampaknya kekayaanmu bukan hanya sekedar mimpi. Kesekian kali ku melihat, kesekian kali jua ku merasa kagum dan tertegun, terdiam, hanya bisa membayangkan, kapan sekiranya aku bisa berkeliling mengambil makna di setiap penciptaan.
                
Ku tulis kembali setiap bait ungkapan hati, ungkapan hati yang masih terbelenggu dan belum terwarnai. Ku lihat kau hanya dari rangkaian cerita yang orang lain suguhkan. Semua ku lakukan agar ku semakin mencintaimu, agar aku semakin memahamimu, dan akhirnya aku mampu memelukmu.
                
Hanya bisa bersyukur. Syukur karena rasa cinta ini telah tubuh, tumbuh menghiasi jiwa yang tadinya gersang akan kebanggaan. Namun kini dia mulai tumbuh, tumbuh diantara ketidakpedulian. Kebanggaan yang tumbuh di tengah jiwa yang hampir kandas akan tujuan.
                
Kini semua berbeda. Harapan kini semakin luas adanya. Aku tak mau hidup hanya memikirkan besok ingin makan apa, besok biaya anak sekolah bagaimana, besok dan besok, sungguh aku tak mau. Ku berharap itu sudah terpenuhi, tak perlu menjejali ruang hati, dan aku bisa terus berbakti.
                
Mungkin ku terlalu berani mengungkap setiap asa, padahal langkah ku kini masih buruk adanya. Mengurus diri sendiri saja belum selesai. Hidup masih sibuk dengan urusan pribadi, belum bisa mandiri, maka mana mungkin bisa berdarma bakti.
                
Aku yakin cerita akan dirimu tidaklah sederhana. Setiap lekukmu adalah serangkaian buah hikmah. Hikmah yang akan didapatkan ketika mereka berani menyelami tanpa perduli banyak orang mengingkari. Itulah yang membuatku kini berani bermimpi, berani menulis setiap lembar target menuju pelukmu. Merangkai asa walau terkadang banyak alasan untuk bisa berputus asa.
               
Maaf, ketika ku terlalu banyak berceloteh lewat tulisan. Namun semuanya belum terukir abadi dalam nisan. Ku harap semua tulisan ini mengingatkan ku kembali dikala hati sedah lemah, dikala hati patah arah, dikala hati butuh akan beberapa petuah. Mohon doakan selalu, agar aku segera dapat memelukmu dan membuat cerita betapa besarnya rasa banggaku padamu.