10 Juli 2014, kami 19 orang anak Jawa yang miskin
akan pengalaman mencoba peruntungan. Perjuangan selama enam bulan untuk
mempersiapkan keberangkatan ke timur sana terbayar sudah. Raungan mesin pesawat
di Bandara Juanda menjadi saksi keberangkatan kami, keberangkatan yang hampir
saja sirna karena minimnya dana. Namun Tuhan berkendak lain, kelompok yang
hampir bubar ini diberi kepercayaan untuk menapakan kaki di Papua sana, Kampung
Fafanlap, Distrik Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat tepatnya.
Raungan mesin pesawat yang tadinya memekakkan
telinga kini berganti dengan lembutnya suara mesin kapal Fajar Indah II. Namun kelembutan
itu tak mampu bertahan lama, sampai datangnya gelombang lautan. Delapan jam
sudah perut kami dikocok, isi perut kami tumpah karena tak mampu menahan pening
di kepala. Sampai akhirnya pagi hari pun tiba. Kalau kata R. A. Kartini, habis
gelap terbitlah terang. Namun bagi kami, habis gelap terbitlah mentari berhias
pulau-pulau. Sekumpulan badan yang lemas terbangun, keluar dari kapal, dan
menikmati pemandangan yang masih asing bagi pandangan, belum pernah kami
melihatnya kecuali di layar laptop kami.
Bicara soal pemandangan tiada akan
habisnya, semua pasti mengagumkan. Obrolan dengan sesama penumpang di kapal pun
hanya bisa mempersingkat waktu, semua terasa singkat. Sampai akhirnya nampak
oleh bola mata kami sebuah dermaga. Dermaga Kampung Fafanlap. Dermaga
satu-satunya yang disinggahi kapal besar dari Pelabuhan Sorong. Oleh karena itu,
pelabuhan ini menjadi pintu akses utama mobilitas penduduk yang berlayar dari Kota
Sorong. Membawa segala kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan
lainnya. Dermaga Kampung Fafanlap saat itu ramai sekali, tidak hanya diramaikan
oleh orang yang baru datang, namun juga oleh pedagang dan tentunya oleh
anak-anak usia sekolah yang hilir mudik untuk mencari hal baru yang datang dari
pulau nan jauh disana.
Semua prosesi penerimaan dan
penyambutan telang dilakukan, kami akhirnya mendapat tempat bernaung di dekat
dermaga, rumah yang sederhana, namun mewah bila dibandingkan dengan rumah-rumah
warga lainnya. Prosesi melepas lelah pun kami lakukan, bertegur sapa dengan
warga sekitar dan bertawa ria dengan anak-anak menjadi obat lelah kami. Bangku
tersusun melingkar, anak-anak duduk berkeliling dan kami siap mendengar cerita
dari mereka semua. Belum lama memang, namun keakraban kami dengan anak-anak itu
cepat sekali terbentuk. Mungkin anak-anak disini memang sudah terlatih seperti
itu, menyambut setiap orang yang datang, termasuk kami orang baru.
Ketika kami sibuk bercerita tidak
jarang kami dikagetkan oleh tangisan seorang anak, ada apa? Ternyata seperti
biasa, polah anak-anak di Jawa ternyata juga ada disini. Mereka mudah rukun
namun juga mudah sekali berkelahi. Salah satu anak yang paling terlihat aktif,
sekaligus aktif dalam hal kenalanannya adalah Damin. Hanya berselang beberapa
detik dia sudah membuat ulah kembali. Biasanya anak perempuan menjadi sasaran
empuk baginya. Kejadian ini tak hanya sekali, namun sering sekali terjadi. Aku
saat itu belum tau Damin ini kelas berapa, yang aku tau saat itu, Damin merupakan
anak yang telah ditinggal ayahnya dan memiliki adik yang bernama Abdul.
Interaksi antara
kami dan Damin berlangsung sangat sering. Pondokan kami yang dekat dengan
dermaga dan berhalaman lapangan sering digunakan anak-anak berkumpul baik sore
maupun malam hari. Walau gelap, mereka tak ragu untuk berlari kesana kemari,
saling meraih dan mengumbar tawa. Pada malam yang berbeda, saya kembali bertemu
dengan Damin. Tanpa ragu dia langsung masuk ke ruangan kami, ruangan yang menjadi
tempat tidur sekaligus gudang bagi barang-barang kami. Dia menghampiri sebuah
kardus, diraihnya sebuah permain puzzle, dibuka bungkus
plastiknya kemudian dia acak-acak bagian kecil puzzle tersebut. Dia berusaha menyusun dan mengembalikan pada
keadaan semula, namun nampaknya dia tidak berhasil. Bukannya dirapihkan, dia
malah membuka puzzle yang lainnya, ya…
walaupun hasil akhirnya tak jauh berbeda dengan puzzle sebelumnya. Kami hanya memasang setting wajah cemberut, namun hati kami tersenyum.
Ketika program guru bantu sudah dimulai, akhirnya
aku tau bahwa Damin itu kelas dua Sekolah Dasar. Dia ternyata pernah tidak naik
kelas beberapa kali, hati pun bertanya kenapa? Apakah ada hubungannya dengan
kenakalannya atau ada sebab lain? Aku ketika itu belum begitu memperhatikan. Sewaktu
tak ada jadwal mengajar biasanya aku duduk di teras depan pondokan, menikmati
sesaat kesejukan udara yang mungkin tak lama bisa aku nikmati. Bertepatan
dengan moment itu biasanya Damin datang, seorang diri, membawa
buku satu buah beserta alat tulisnya, dan biasanya tanpa tas. Aku pun bertanya,
“apakah sudah selesai belajar disekolahnya?”. Dia pun menjawab, “sudah….”
Seperti biasa dia pun langsung masuk dan membaca buku-buku yang kami bawa dari
Jawa.
Damin mempunyai adik yang bernama Abdul. Abdul juga
sering berkelahi layaknya kakanya, Damin. Sempat beberapa kali aku perhatikan
ada yang berbeda dengan Abdul ini. Dia sering sekali memakai baju orang dewasa,
baju yang merangkap sekaligus sebagai celana. Aku tanya, “ini baju siapa?”. Dia
jawab, “baju saya Kak….” Terkadang juga aku lihat dia tidak memakai baju, hanya
celana saja. Kalau tidak salah saya juga pernah bertanya kepada adik Damin ini,
“kok gak pakai baju?”, dia hanya menjawab dengan polos seperti anak kecil
lainnya, “bajunya dipakai adik saya kak…” Damin memiliki adik lainnya yang juga
sering memakai baju kebesaran. Jangan berfikir baju kebesaran yang mahal dan
bagus layaknya yang kita miliki, baju yang sering dipakainya adalah baju
kampanye yang banyak beredar ketika masa pemilu tiba. Bahannya tipis, lengkap
dengan foto caleg dan nomor yang siap untuk dicoblos.
Tak terasa masa pengabdian pun berakhir, sekitar 55
hari lamanya. Kami pun pulang, kembali ke tanah Jawa. Meninggalkan kampung yang
penuh kenangan itu. Termasuk kenangan bersama Damin, seorang bocah istimewa yang
saat itu jatuh di pelukku, menangis dan seolah berkata, “ Kak… jangan pulang....”.
Sesampainya di Jawa, ternyata hampir semua anggota
kelompok KKN kami merasa terpele. Terpele merupakan sebuah istilah yang
menerangkan akan rasa terkenang bagi seseorang yang mengalami perpisahan.
Bahkan lagunya sampai saat ini masih sering kami lantunkan, judulnya “Gunung
dan Tanjung Terpele”. Ya…, Kami masih
rindu dengan Kampung Fafanlap, disetiap pertemuan pasti yang sering dibicarakan
adalah seputar agenda KKN yang dulu pernah kita lakukan.
Rasa rindu yang semakin membuncah, akhirnya
memberikan motivasi yang kuat bagi salah satu teman kami, Minuk Kusmiati. Dia
membulatkan tekad untuk kembali ke Kampung Fafanlap, mengerjakan penelitiannya
tentang infeksi cacing pada anak-anak. Tema penelitian tersebut menuntutnya untuk
sering berinteraksi dengan anak-anak disana, sehingga Minuk tau pasti akan
kondisi mereka pasca program KKN yang kita lakukan di Kampung Fafanlap tersebut.
Setelah tiga minggu Minuk berada di Kampung
Fafanlap. Akhirnya dia pulang, dan segenap sahabat KKN yang lain pun menjemputnya.
Seperti biasa, rasa rindu kami yang amat besar menyebabkan kami selalu
menanyakan bagaimana kabar masyarakat disana, bibik ini, paman itu, bagaimana
kabarnya? Dan pada akhirnya kita mendapat kabar yang cukup menyedihkan, Damin
yang terkenal nakal namun sering membantu itu, ternyata sudah berhenti sekolah.
Hal tersebut dikarenakan tiadanya seragam. Seragam yang dulu saya lihat
menghias tubuh sekalnya, kini dipinjamkan kepada adiknya sedangkan dia sendiri berkorban
dan akhirnya tidak berangkat ke sekolah.
Apakah ini ada sangkut pautnya dengan kondisi kedua
adiknya yang dulu sering ku lihat memakai baju yang kebesaran? Kenapa aku tidak
peka? Bahwa saat itu mereka sangat membutuhkan bantuan, dan akhirnya kini
terjawab, hanya karena ketiadaan seragam sekolah, masa depan seorang anak
hampir saja terampas. Terampas apabila orang-orang di sekelilingnya tidak
perduli.