Sunday, April 26, 2015

Tanda-tanda

Ku tulis rasa hati yang terus menggerutu
Kelam tertutupi dosa masa lalu
Tak mengerti dan tak dijalani
Padahal petunjuk telah datang silih berganti

Mungkin sudah kesekian kali
Wajah terjungkal mengenai kotoran duniawi
Rasa lapang sedemikian pergi dan sulit dibujuk walau sekedar ntuk kembali
Dan akhirnya ku harus meniti, menghapus dosa, dan memulai dari titik awal lagi

Mungkin janji sudah terucap untuk kesekian kali
Namun tubuh yang lain tak kuasa, dan akhirnya memutuskan ntuk mengingkari
Akhirnya kekecewaan dan penyesalan pun menghampiri
Badan lunglai, hanya bisa terpaku, sambil menyalahi diri sendiri

Lalu hati bertanya-tanya….
Kamu ini maunya apa?
Terang dan gelap sudah jelas apa adanya
Kini hanya ada curiga dan semakin tak percaya

Ya Allah, kasih cinta-Mu bertebaran dimana-mana
Petunjuk Mu juga tak segan untuk menyapa
Maafkan hamba Mu ini yang kesekian kali berbuat nista
Semua salah hamba Mu ini, salah karena hati menghitam sehingga tak mampu membaca tanda-tanda

Thursday, April 23, 2015

Damin

10 Juli 2014, kami 19 orang anak Jawa yang miskin akan pengalaman mencoba peruntungan. Perjuangan selama enam bulan untuk mempersiapkan keberangkatan ke timur sana terbayar sudah. Raungan mesin pesawat di Bandara Juanda menjadi saksi keberangkatan kami, keberangkatan yang hampir saja sirna karena minimnya dana. Namun Tuhan berkendak lain, kelompok yang hampir bubar ini diberi kepercayaan untuk menapakan kaki di Papua sana, Kampung Fafanlap, Distrik Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat tepatnya.
            
Raungan mesin pesawat yang tadinya memekakkan telinga kini berganti dengan lembutnya suara mesin kapal Fajar Indah II. Namun kelembutan itu tak mampu bertahan lama, sampai datangnya gelombang lautan. Delapan jam sudah perut kami dikocok, isi perut kami tumpah karena tak mampu menahan pening di kepala. Sampai akhirnya pagi hari pun tiba. Kalau kata R. A. Kartini, habis gelap terbitlah terang. Namun bagi kami, habis gelap terbitlah mentari berhias pulau-pulau. Sekumpulan badan yang lemas terbangun, keluar dari kapal, dan menikmati pemandangan yang masih asing bagi pandangan, belum pernah kami melihatnya kecuali di layar laptop kami.
            
Bicara soal pemandangan tiada akan habisnya, semua pasti mengagumkan. Obrolan dengan sesama penumpang di kapal pun hanya bisa mempersingkat waktu, semua terasa singkat. Sampai akhirnya nampak oleh bola mata kami sebuah dermaga. Dermaga Kampung Fafanlap. Dermaga satu-satunya yang disinggahi kapal besar dari Pelabuhan Sorong. Oleh karena itu, pelabuhan ini menjadi pintu akses utama mobilitas penduduk yang berlayar dari Kota Sorong. Membawa segala kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Dermaga Kampung Fafanlap saat itu ramai sekali, tidak hanya diramaikan oleh orang yang baru datang, namun juga oleh pedagang dan tentunya oleh anak-anak usia sekolah yang hilir mudik untuk mencari hal baru yang datang dari pulau nan jauh disana.
            
Semua prosesi penerimaan dan penyambutan telang dilakukan, kami akhirnya mendapat tempat bernaung di dekat dermaga, rumah yang sederhana, namun mewah bila dibandingkan dengan rumah-rumah warga lainnya. Prosesi melepas lelah pun kami lakukan, bertegur sapa dengan warga sekitar dan bertawa ria dengan anak-anak menjadi obat lelah kami. Bangku tersusun melingkar, anak-anak duduk berkeliling dan kami siap mendengar cerita dari mereka semua. Belum lama memang, namun keakraban kami dengan anak-anak itu cepat sekali terbentuk. Mungkin anak-anak disini memang sudah terlatih seperti itu, menyambut setiap orang yang datang, termasuk kami orang baru.
            
Ketika kami sibuk bercerita tidak jarang kami dikagetkan oleh tangisan seorang anak, ada apa? Ternyata seperti biasa, polah anak-anak di Jawa ternyata juga ada disini. Mereka mudah rukun namun juga mudah sekali berkelahi. Salah satu anak yang paling terlihat aktif, sekaligus aktif dalam hal kenalanannya adalah Damin. Hanya berselang beberapa detik dia sudah membuat ulah kembali. Biasanya anak perempuan menjadi sasaran empuk baginya. Kejadian ini tak hanya sekali, namun sering sekali terjadi. Aku saat itu belum tau Damin ini kelas berapa, yang aku tau saat itu, Damin merupakan anak yang telah ditinggal ayahnya dan memiliki adik yang bernama Abdul.


Interaksi antara kami dan Damin berlangsung sangat sering. Pondokan kami yang dekat dengan dermaga dan berhalaman lapangan sering digunakan anak-anak berkumpul baik sore maupun malam hari. Walau gelap, mereka tak ragu untuk berlari kesana kemari, saling meraih dan mengumbar tawa. Pada malam yang berbeda, saya kembali bertemu dengan Damin. Tanpa ragu dia langsung masuk ke ruangan kami, ruangan yang menjadi tempat tidur sekaligus gudang bagi barang-barang kami. Dia menghampiri sebuah kardus, diraihnya sebuah permain puzzle, dibuka bungkus plastiknya kemudian dia acak-acak bagian kecil puzzle tersebut. Dia berusaha menyusun dan mengembalikan pada keadaan semula, namun nampaknya dia tidak berhasil. Bukannya dirapihkan, dia malah membuka puzzle yang lainnya, ya… walaupun hasil akhirnya tak jauh berbeda dengan puzzle sebelumnya. Kami hanya memasang setting wajah cemberut, namun hati kami tersenyum.

Ketika program guru bantu sudah dimulai, akhirnya aku tau bahwa Damin itu kelas dua Sekolah Dasar. Dia ternyata pernah tidak naik kelas beberapa kali, hati pun bertanya kenapa? Apakah ada hubungannya dengan kenakalannya atau ada sebab lain? Aku ketika itu belum begitu memperhatikan. Sewaktu tak ada jadwal mengajar biasanya aku duduk di teras depan pondokan, menikmati sesaat kesejukan udara yang mungkin tak lama bisa aku nikmati. Bertepatan dengan moment itu biasanya Damin datang, seorang diri, membawa buku satu buah beserta alat tulisnya, dan biasanya tanpa tas. Aku pun bertanya, “apakah sudah selesai belajar disekolahnya?”. Dia pun menjawab, “sudah….” Seperti biasa dia pun langsung masuk dan membaca buku-buku yang kami bawa dari Jawa.

Damin mempunyai adik yang bernama Abdul. Abdul juga sering berkelahi layaknya kakanya, Damin. Sempat beberapa kali aku perhatikan ada yang berbeda dengan Abdul ini. Dia sering sekali memakai baju orang dewasa, baju yang merangkap sekaligus sebagai celana. Aku tanya, “ini baju siapa?”. Dia jawab, “baju saya Kak….” Terkadang juga aku lihat dia tidak memakai baju, hanya celana saja. Kalau tidak salah saya juga pernah bertanya kepada adik Damin ini, “kok gak pakai baju?”, dia hanya menjawab dengan polos seperti anak kecil lainnya, “bajunya dipakai adik saya kak…” Damin memiliki adik lainnya yang juga sering memakai baju kebesaran. Jangan berfikir baju kebesaran yang mahal dan bagus layaknya yang kita miliki, baju yang sering dipakainya adalah baju kampanye yang banyak beredar ketika masa pemilu tiba. Bahannya tipis, lengkap dengan foto caleg dan nomor yang siap untuk dicoblos.


Tak terasa masa pengabdian pun berakhir, sekitar 55 hari lamanya. Kami pun pulang, kembali ke tanah Jawa. Meninggalkan kampung yang penuh kenangan itu. Termasuk kenangan bersama Damin, seorang bocah istimewa yang saat itu jatuh di pelukku, menangis dan seolah berkata, “ Kak… jangan pulang....”.

Sesampainya di Jawa, ternyata hampir semua anggota kelompok KKN kami merasa terpele. Terpele merupakan sebuah istilah yang menerangkan akan rasa terkenang bagi seseorang yang mengalami perpisahan. Bahkan lagunya sampai saat ini masih sering kami lantunkan, judulnya “Gunung dan Tanjung Terpele”.  Ya…, Kami masih rindu dengan Kampung Fafanlap, disetiap pertemuan pasti yang sering dibicarakan adalah seputar agenda KKN yang dulu pernah kita lakukan.

Rasa rindu yang semakin membuncah, akhirnya memberikan motivasi yang kuat bagi salah satu teman kami, Minuk Kusmiati. Dia membulatkan tekad untuk kembali ke Kampung Fafanlap, mengerjakan penelitiannya tentang infeksi cacing pada anak-anak. Tema penelitian tersebut menuntutnya untuk sering berinteraksi dengan anak-anak disana, sehingga Minuk tau pasti akan kondisi mereka pasca program KKN yang kita lakukan di Kampung Fafanlap tersebut.

Setelah tiga minggu Minuk berada di Kampung Fafanlap. Akhirnya dia pulang, dan segenap sahabat KKN yang lain pun menjemputnya. Seperti biasa, rasa rindu kami yang amat besar menyebabkan kami selalu menanyakan bagaimana kabar masyarakat disana, bibik ini, paman itu, bagaimana kabarnya? Dan pada akhirnya kita mendapat kabar yang cukup menyedihkan, Damin yang terkenal nakal namun sering membantu itu, ternyata sudah berhenti sekolah. Hal tersebut dikarenakan tiadanya seragam. Seragam yang dulu saya lihat menghias tubuh sekalnya, kini dipinjamkan kepada adiknya sedangkan dia sendiri berkorban dan akhirnya tidak berangkat ke sekolah.

Apakah ini ada sangkut pautnya dengan kondisi kedua adiknya yang dulu sering ku lihat memakai baju yang kebesaran? Kenapa aku tidak peka? Bahwa saat itu mereka sangat membutuhkan bantuan, dan akhirnya kini terjawab, hanya karena ketiadaan seragam sekolah, masa depan seorang anak hampir saja terampas. Terampas apabila orang-orang di sekelilingnya tidak perduli.