Kala udara semakin terasa dingin. Beberapa tubuh tim KKN PPB 01 masih lelap dalam peraduan. Tertidur pulas, terbuai dalam indahnya mimpi. Deburan ombak yang tak pernah bosan menerjang karang, masih terdengar jelas suaranya. Suasana malam kami, selama kurang lebih 50 hari ini memang akan terasa tak biasa. Malam hari yang selalu berhias bintang. Tak ada cahaya gedung besar yang mengaburkan indahnya malam. Malam di pinggir dermaga. Dermaga kampung Fafanlap, Misool Selatan, Raja Ampat.
Namun malam itu ada yang berbeda, suara yang terdengar tak lagi sama. Terbangunlah tubuh ini, mencoba meranjakkan kaki ke arah suara itu berasal. Mendekati dengan penuh tanda tanya. Mengapa sepagi ini masih saja ada ramai-ramai? Padahal jam sudah menunjukkan jam setengah 4 pagi. Apakah ada tahlillan? Tak mungkin, mana ada tahlillan menggunkan suara sound sistem dengan irama yang menghentak-hentak.
"Malam yang indah, semoga senantiasa berbalut keberkahan...." |
Mata ini pun sesekali berusaha untuk memfokuskan apa yang dilihat. Menghusap, mungkin saja masih ada kotoran mata yang masih mengganjal dan mengkaburkan penglihatan. Namun ternyata begitu adanya, diri ini tidak sedang bermimpi, apalagi sama-sama ikut berjoget dengan mereka. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Pertanyaan itu pun timbul yang entah dari mana asalnya.
Kejadian malam itu mengingatkanku akan budaya yang juga marak terjadi diperkotaan. Kumpulan remaja bahkan ada juga golongan tua yang kini sudah jauh dari kata moral. Salah satu kebiasaanya adalah mengunjungi club-club malam. Berjoget, berliak-liuk dengan para biduan. Seakan dunia tak akan berakhir, seakan mereka akan hidup selamanya. Namun bukan pencegahan. Tempat-tempat itu seakan semakin terasa legal. Keramaiannya mengalahkan masjid dan keras suaranya mengalahkan suara kajian keislaman di masjid-masjid. Apakah yang saya lihat pada malam itu, malam di kampung Fafanlap, sama dengan kebiasaan di perkotaan besar? entahlah.
Budaya pesta joget ini memang sudah menjadi barang lumrah disana. Pesta yang diadakan ketika ada perayaan hajat tertentu. Baik sunatan, syukuran, biasanya di akhiri dengan pesta joget pada malam harinya. Budaya ini tumbuh bak jamur di musim hujan, tak hanya di Fafanlap namun juga di kampung-kampung lainnya. Aku pun bertanya dengan salah seorang kawanku, yang kebetulan dia orang timur. Maluku utara tepatnya. Dia juga mengutarakan, bahwa budaya ini tidak hanya terjadi di daerah tempat kita KKN. Hampir di setiap daerah, daerah timur khususnya, sudah mengakar akan budaya ini. Setiap perayaan selalu diakhiri dengan pesta joget. Pesta yang selalu diiringi dengan musik khas timur dan bernuansa hip-hop ini.
Alhamdulillah hati ini masih menyimpan keprihatinan, berarti masih peka dengan kondisi sekitar. Hatiku semakin sesak, setelah melihat bahwa yang ikut berjoget pada malam itu tidak hanya kalangan muda mudi yang sudah cukup umur. Namun nampak oleh mataku, ada beberapa anak yang masih terlihat belia juga turut larut dalam pesta joget itu. Mungkin usianya masih menginjak sekolah SMP. Aksi anak belia tersebut juga tidak kalah gesitnya dalam meliak-liukan tubuh. Berjoget maju mundur dan sesekali menggerakkan bagian tubuh lain, menikmati dunia yang terasa indah pada malam itu dan sangat sia-sia apabila dilewati begitu saja.
Setelah beberapa lama aku menyaksikan kejadian itu. Tubuh ini pun kembali ke tempat pembaringan. Berbaring, merebahkan tubuh, dengan jutaan kegelisahaan tersimpan dalam benak. Mengapa kampung seindah ini, kampung dengan penduduk mayoritas muslim, ada budaya seperti itu? Kalangan muda, generasi penerus, yang diharapkan membawa perubahan. Mengapa tercemari budaya yang menurut kami sangat tidak baik? Budaya glamor, budaya senang-senang yang sungguh melewati batas. Sudah tak ada lagi batas antara perempuan dan laki-laki dan mereka saat itu saling berhadapan satu sama lainnya.
Mungkin akan berbeda halnya, ketika tarian yang dilakukan merupakan tarian tradisional. Pelaksanaannya juga tidak terlalu larut malam. Semua masih dalam pengawasan orang tua. Gerakkan tarian yang dilakukan berdasarkan nilai seni, bukan nilai sensual yang selalu dikedepankan. Tak hanyal anak-anak pun bisa terkontrol dengan baik. Rasa cinta juga dapat tumbuh dalam hati mereka, cinta akan kebudayaan dan kesenian tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Sudah banyak cerita yang kami dapatkan terkait dampak negatif budaya joget ini, khususnya di kampung Fafanlap. Tak perlu kami sampaikan satu persatu, silahkan anda pikirkan sendiri. Semua sudah tergambar jelas, ketika dimulai dengan hal yang kurang baik maka hal yang kurang baik lainnya juga pasti ikut andil. Mungkin saat ini hanya doa dan nasihat yang masih tersampaikan untuk adik-adik kita disana. Sedikit mengingatkan akan jeleknya budaya joget tersebut. Sehingga kelak mereka tidak melakukannya lagi, berganti dengan aktifitas yang lebih baik, lebih berguna, dan tentunya lebih berkah. Kampung Fafanlap pun lebih bersinar, tidak hanya dari alamnya yang indah, tidak hanya dari lautnya yang menentramkan hati, dan tidak hanya dari udaranya yang melegakan rongga dada. Namun dari hati dan jiwa penduduknya yang senantiasa bersinar, terjauh dari kegiatan yang tidak bermanfaat dan merusak kepribadian pemuda-pemudinya.