Monday, October 27, 2014

Setitik Noda Hitam

Kala udara semakin terasa dingin. Beberapa tubuh tim KKN PPB 01 masih lelap dalam peraduan. Tertidur pulas, terbuai dalam indahnya mimpi. Deburan ombak yang tak pernah bosan menerjang karang, masih terdengar jelas suaranya. Suasana malam kami, selama kurang lebih 50 hari ini memang akan terasa tak biasa. Malam hari yang selalu berhias bintang. Tak ada cahaya gedung besar yang mengaburkan indahnya malam. Malam di pinggir dermaga. Dermaga kampung Fafanlap, Misool Selatan, Raja Ampat. 

Namun malam itu ada yang berbeda, suara yang terdengar tak lagi sama. Terbangunlah tubuh ini, mencoba meranjakkan kaki ke arah suara itu berasal. Mendekati dengan penuh tanda tanya. Mengapa sepagi ini masih saja ada ramai-ramai? Padahal jam sudah menunjukkan jam setengah 4 pagi. Apakah ada tahlillan? Tak mungkin, mana ada tahlillan menggunkan suara sound sistem dengan irama yang menghentak-hentak. 

"Malam yang indah, semoga senantiasa berbalut keberkahan...."
Sesampainya di dekat jendela, mata ini mulai melirik. Nampak di sana, di balai desa, balai yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Terlihat beberapa tubuh sedang berliak liuk, berjoget dengan asiknya, seakan dari terbenamnya matahari sampai terbit lagi hanya mereka yang punya. Saling berhadapan satu sama lain. Tak ada pembeda atara perempuan dan laki-laki. Terhipnotis oleh balutan musik dan dinginnya malam.

Mata ini pun sesekali berusaha untuk memfokuskan apa yang dilihat. Menghusap, mungkin saja masih ada kotoran mata yang masih mengganjal dan mengkaburkan penglihatan. Namun ternyata begitu adanya, diri ini tidak sedang bermimpi, apalagi sama-sama ikut berjoget dengan mereka. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Pertanyaan itu pun timbul yang entah dari mana asalnya. 

Kejadian malam itu mengingatkanku akan budaya yang juga marak terjadi diperkotaan. Kumpulan remaja bahkan ada juga golongan tua yang kini sudah jauh dari kata moral. Salah satu kebiasaanya adalah mengunjungi club-club malam. Berjoget, berliak-liuk dengan para biduan. Seakan dunia tak akan berakhir, seakan mereka akan hidup selamanya. Namun bukan pencegahan. Tempat-tempat itu seakan semakin terasa legal. Keramaiannya mengalahkan masjid dan keras suaranya mengalahkan suara kajian keislaman di masjid-masjid. Apakah yang saya lihat pada malam itu, malam di kampung Fafanlap, sama dengan kebiasaan di perkotaan besar? entahlah.

Budaya pesta joget ini memang sudah menjadi barang lumrah disana. Pesta yang diadakan ketika ada perayaan hajat tertentu. Baik sunatan, syukuran, biasanya di akhiri dengan pesta joget pada malam harinya. Budaya ini tumbuh bak jamur di musim hujan, tak hanya di Fafanlap namun juga di kampung-kampung lainnya. Aku pun bertanya dengan salah seorang kawanku, yang kebetulan dia orang timur. Maluku utara tepatnya. Dia juga mengutarakan, bahwa budaya ini tidak hanya terjadi di daerah tempat kita KKN. Hampir di setiap daerah, daerah timur khususnya, sudah mengakar akan budaya ini. Setiap perayaan selalu diakhiri dengan pesta joget. Pesta yang selalu diiringi dengan musik khas timur dan bernuansa hip-hop ini.

Alhamdulillah hati ini masih menyimpan keprihatinan, berarti masih peka dengan kondisi sekitar. Hatiku semakin sesak, setelah melihat bahwa yang ikut berjoget pada malam itu tidak hanya kalangan muda mudi yang sudah cukup umur. Namun  nampak oleh mataku, ada beberapa anak yang masih terlihat belia juga turut larut dalam pesta joget itu. Mungkin usianya masih menginjak sekolah SMP. Aksi anak belia tersebut juga tidak kalah gesitnya dalam meliak-liukan tubuh. Berjoget maju mundur dan sesekali menggerakkan bagian tubuh lain, menikmati dunia yang terasa indah pada malam itu dan sangat sia-sia apabila dilewati begitu saja.

Setelah beberapa lama aku menyaksikan kejadian itu. Tubuh ini pun kembali ke tempat pembaringan. Berbaring, merebahkan tubuh, dengan jutaan kegelisahaan tersimpan dalam benak. Mengapa kampung seindah ini, kampung dengan penduduk mayoritas muslim, ada budaya seperti itu? Kalangan muda, generasi penerus, yang diharapkan membawa perubahan. Mengapa tercemari budaya yang menurut kami sangat tidak baik? Budaya glamor, budaya senang-senang yang sungguh melewati batas. Sudah tak ada  lagi batas antara perempuan dan laki-laki dan mereka saat itu saling berhadapan satu sama lainnya.

Mungkin akan berbeda halnya, ketika tarian yang dilakukan merupakan tarian tradisional. Pelaksanaannya juga tidak terlalu larut malam. Semua masih dalam pengawasan orang tua. Gerakkan tarian yang dilakukan berdasarkan nilai seni, bukan nilai sensual yang selalu dikedepankan. Tak hanyal anak-anak pun bisa terkontrol dengan baik. Rasa cinta juga dapat tumbuh dalam hati mereka, cinta akan kebudayaan dan kesenian tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Sudah banyak cerita yang kami dapatkan terkait dampak negatif budaya joget ini, khususnya di kampung Fafanlap. Tak perlu kami sampaikan satu persatu, silahkan anda pikirkan sendiri. Semua sudah tergambar jelas, ketika dimulai dengan hal yang kurang baik maka hal yang kurang baik lainnya juga pasti ikut andil. Mungkin saat ini hanya doa dan nasihat yang masih tersampaikan untuk adik-adik kita disana. Sedikit mengingatkan akan jeleknya budaya joget tersebut. Sehingga kelak mereka tidak melakukannya lagi, berganti dengan aktifitas yang lebih baik, lebih berguna, dan tentunya lebih berkah. Kampung Fafanlap pun lebih bersinar, tidak hanya dari alamnya yang indah, tidak hanya dari lautnya yang menentramkan hati, dan tidak hanya dari udaranya yang melegakan rongga dada. Namun dari hati dan jiwa penduduknya yang senantiasa bersinar, terjauh dari kegiatan yang tidak bermanfaat dan merusak kepribadian pemuda-pemudinya.  

Sunday, October 26, 2014

Mata Itu

"yang kini berada jauh..."
Mata itu yang dulu melirik dengan segala keresahan
Keresahaan yang entah apa artinya
Pening hati memikirkan apa yang sesungguhnya dirasa
Namun hati, tak perlulah kau curiga

Malam dingin, mengingat waktu saat itu
Berlenggak lenggok dengan tatapan kekhawatiran
Entah tau atau tidak?
Dan dia pun pergi memperkuat kesan

Mata itu terkadang terasa hangat
Mata itu juga terkadang terasa sangat dingin
Hati bingung entah apa yang diharapkan
Terus berjalan dan berharap hati tak menangis

Masih berharap, mata itu kan menatap
Namun beda jadinya dengan keinginan hati
Pandangan pergi dan tak saling terpaut
Maka bersabarlah wahai mataku

Udara panas membuat mata beraut merah
Semakin memerah dengan sakitnya raga
Tapi entah kenapa, mata itu datang
Menghampiri dengan dengan kawannya senyuman

Baru saja mata itu terpaut
Kini harus rela terpisahkan oleh jarak
Jarak dimana mata tak mampu lagi berperan
Yang ada hanya ratapan kerinduan

Dan kini mata itu telah berganti
Berganti dengan mata yang menyatukan hati
Jarak dan waktu kini sudah tak punya arti
Terimakasih wahai mata hati

Tuesday, October 21, 2014

Maaf dan Doa, Wahai Ayah

"Wahai ayahku"
Malam ini, tepatnya Rabu, 21 September 2014. Malam yang berjalan seperti biasanya. Sendiri di sudut kamar, bertemankan suara desiran kipas laptop yang tampak semakin kencang karena umurnya yang semakin tua. Tampak mata memerah, terhanyut dalam lamunan. Pastinya bukan lamunan kosong. Lamunan penghayatan akan kisah yang sedang disaksikan.
                
Layar laptopku masih setia menemani. Film yang mungkin tergolong lawas masih terputar apik di sana. Ya mungkin tidak terlalu lawas, namun mengingat banyaknya produksi film saat ini membuat film yang baru saja diputar sudah nampak jadul ketika film yang lainnya mulai bermunculan.

Tampan Tailor, sebuah film yang sarat makna, tak sesederhana judulnya. Film yang dibintangi Vino G. Bastian ini menceritakan tentang sosok ayah yang berjuang merawat buah hatinya, semenjak kematian istrinya karena kanker. Rumah dan gerai tempat Topan, nama Vino dalam film tersebut, bekerja sebagai penjahit juga harus rela untuk dijual demi biaya pengobatan sang istri. Tak hanya merawat, Topan juga mempunyai cita-cita besar yaitu mewujudkan mimpi istrinya agar Bintang, anak Topan, menjadi orang yang sukses dan terpelajar.

Saya tak mau bercerita banyak akan alur film ini. Perjalanan pahit, manis, dan kombinasi keduanya berjalan begitu indah dalam perjalanan hidup Topan. Ketegarannya dan ketabahanya menggambarkan ayah yang tidak biasa, namun ayah yang luar biasa. Tak terasa semua terus mengalir sampai cerita indah mengakhiri kisah mereka. 

Jadi teringat ayah di rumah. Bekerja sekuat tenaga untuk kita anaknya. Lelah tubuh, jiwa sungguh tak nampak dihadapan kita. Mereka bekerja dengan hati. Semua mereka jalani untuk kebahagian kita. Senyum kita ketika dia pulang, sudah menjadi obat yang sangat ampuh untuk menghilangkan semua penat. Sungguh aku bangga padamu ayah.

Maafkan anakmu ini yang terkadang sering membangkan, jarang mendengar nasihat, dan bahkan sering berkata tidak pantas. Doakan kami agar menjadi anak yang dapat membahagiakanmu. Membahagiakan dunia dan akhiratmu. Iringi setiap langkah kami dengan lembutnya doamu. Sekali lagi maafkan kami dan doakan kami, wahai ayahku. 

Sunday, October 19, 2014

Kau yang Tak Biasa

"Kau yang ku rindu"
Kau telah buktikan bahwa kau memang tak biasa, kau telah buktikan bahwa alammu memang pantas untuk dikenang, dan kau telah buktikan bahwa pertemuan dengan mu tak sewajarnya untuk dilupakan. Kau terkenang begitu dalam, mungkin sampai mengendap dan sangat sulit untuk dibersihkan."

"Waktu yang sudah berlalu, kurang lebih lima minggu lamanya, telah menjadi saksi bahwa kau sungguh sangat tegar. Mencekram sangat kuat dalam setiap relung hati. Setiap saat kau selalu berlari dan berputar dalam benak ini, mengoda hati, mengingatkan kembali, dan aku hanya termenung sendiri mengingat semuanya."
                
"Benar memang adanya, ku akui semuanya, bahwa aku memang masih merindukan mu. Masih mengingat setiap kesan yang kau beri. Belaian angin, suara ombak, gambaran pulau-pulau, masih ketara jelas dalam pikiran ini. Sungguh Kau nampak tak biasa, semua lekuk polamu betul-betul tak biasa."
                
"Beruntung lisan ini masih senantiasa berbalas, masih mengetahui kabar mu nan jauh di sana. Mendengar sedikit cerita tentangmu, membuat kau serasa masih di depan mata, jarak yang jauh sudah kalah oleh kuatnya ikatan hati."

"Melihatmu kembali, mengingatmu kembali, dan membayangkanmu kembali semakin membuat rindu hati. Semoga kau tak lekas lupa, karena kami di sini selalu berusaha untuk senantiasa mengingatmu. Mengingat dalam kenangan."

Friday, October 3, 2014

KKN-PPM UGM Unit PPB 01, "Kenangan"



       Bangsa ini kaya, maka kayakanlah penduduknya. Bangsa ini besar, maka besarkanlah hati penduduknya. Semua makna itu kami temui, berkat program KKN ini. Program yang tak hanya membuka mata, tetapi juga membuka hati.  Terimakasih Kampung Fafanlap yang mau menerima kami dengan segala kekurangan. Banyak pelajaran kami dapatkan dari mu. Rasa kepedulian, kebersamaan, keteguhan, dan cinta bisa kami dapatkan di sana. Alam mu indah begitu juga dengan hati mu. Semoga kelak kita bisa dipertemukan kembali, dalam lembaran kisah yang lebih indah dan terkenang. Salam dari kami kumpulan mahasiswa KKN PPM UGM 2014 yang sampai saat ini masih “terpele”, karena berpisah dengan mu.