Sudah sekitar
tiga hari berlalu, sejak jutaan kertas suara berseteru dengan alat pencoblos. Rakyat
Indonesia telah menerima haknya, memilih wakil yang katanya mewakili aspirasi
rakyat. Rakyat Indonesia yang banyak itu pasti memilih pemimpin mereka dengan
banyak motif, ada yang memang percaya akan pemimpin yang dipilih, ada yang
memilih karena ikut-ikutan, dan ada yang memilih karena mendapatkan beberapa
lembar uang. Hal yang juga ramai dibahas adalah masih banyaknya kaum putih “Golput”.
Kaum golput ini juga banyak alasan yang melatarbelakanginya seperti, bosannya
mereka dengan keadaan pemimpin yang menurut mereka sudah bisa ditebak keadaan mereka
ketika sudah menempati kursi kekuasaan, ada yang tidak memilih karena sudah
tidak ada simpati lagi akan proses pemilihan, dan yang paling parah lagi adalah
golputnya mereka karena tidak mendapatkan uang dari para caleg.
Ironi
memang, pemilihan pemimpin yang penuh dengan kedustaan, yang berbicara bukan
lagi hati yang suci namun hati yang sudah disumpal dengan uang. Tersumpalnya hati
membuat darah tak mengalir dan busuklah seluruh tubuh. Perebutan kekuasaan yang
penuh curiga, apapun dilakukan, termasuk menjual semua aset keluarga untuk kepentingan
kampanye setiap caleg. Baru-baru ini juga beredar berita antara dua pendukung
partai salih bertikai, menusuk satu sama lain, membuat warga cemas. Apakah seperti
ini kedewasaan yang mereka miliki, dia pikir kita ini bayi, tak tau apa yang
terjadi. Sungguh banyak cacat sistem pemilihan ini, banyak yang salah dan sulit
diutarakan bila hanya dalam beberapa lembar tulisan saja.
Tadi
dari aktornya, sekarang beralih ke proses berjalanya pemilu. Berapa banyak uang
yang digunakan untuk pemilu? Tentu banyak sekali, hitung saja kertasnya, hitung
saja tintanya, hitung saja petugas yang dibayar untuk berlangsungnya pemilu
tersebut, kau masih bilang itu sedikit? Coba uang itu digunakan untuk biaya
sekolah anak yang tidak mampu, menangani para tuna wisma, menurut padangan awam
saya in sya Allah akan lebih baik adanya. Belum lagi adanya politic money, yang menggelontorkan uang
hanya untuk kekuasaan semata, yang akhirnya juga membuat kursi kepemimpinan
dikuasai para beradal, tapi anehnya masyarakat masih saja mau memilih orang
seperti itu. Apakah kini besarnya hati sudah kalah dengan laparnya perut? Sehingga
mereka rela dengan uang yang tak seberapa membuat mereka merana 5 tahun
lamanya, mungkin bisa saja lebih. Kelebihan itu dikarenakan pemimpin yang sudah
haus kekuasaan pasti akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan
untuk kepentingan diri dan kaumnya sendiri.
Pemilu,
awal sudah terjadi masalah, tengahnya sudah terjadi dusta, dan ternyata
akhirnya juga penuh dengan manisnya tipu daya. Perhitungan satu partai membengkak,
terjadi jual beli suara, partai yang satu merasa suaranya terkurangi, dan lain
sebagainya. Kepuasan yang tidak berujung akhirnya diselesaikan dengan cara
menjatuhkan satu sama lain. Pusing kami dibuatnya. Belum selesai masalah satu
muncul masalah yang lain. Tak usahlah pusing, ini memang sudah sistemnya yang
salah, suara orang tak sekolah kok disamakan dengan yang sekolah, ya salah
kaprah. Suara orang tertipu kok sama dengan orang yang paham, ya hancur
leburlah.
Indonesia
ini mayoritas Islam mengapa tak pakai cara Islam, semua akan indah bila itu
terlaksana. Pemimpin dipilih dengan cara yang ideal, dipilih dengan kapasitas
yang baik, tidak hanya intelektual namun juga kepahaman agamanya. Pasti rahmat
Allah kan turun untuk negeri ini. Negeri yang kaya, bahkan tongkat ditanam pun
jadi tanaman. Mari kita sama-sama berdoa semoga pada pemilihan presiden nanti
terpilih pemimpin yang baik agamanya, tak ingin ku lihat negeri ini hancur
seperti negeri-negeri di timur tengah sana yang dipimpin oleh orang yang dengan
tega membunuh rakyatnya sendiri. Semoga hati-hati ini saling berpadu, mendukung
yang benar dan menolak yang penuh tipu daya.
0 comments:
Post a Comment